Berburu Barang Bekas di Jepang

Memiliki sebuah barang yang kita inginkan merupakan keinginan setiap orang. Apalagi barang tersebut merupakan barang yang sangat dibutuhkan dan mempunyai nilai penting untuk mendukung kelancaran aktivitas kita sehari-hari. Tinggal di Jepang yang terkenal dengan tingginya biaya hidup ini harus pintar menyiasati kebutuhan hidup termasuk membeli barang-barang kebutuhan hidup apalagi bagi kaum penerima beasiswa yang besarannya sangat pas untuk “sekedar” hidup di Jepang ditambah lagi kalau bawa anak-istri bisa jadi “alakadarnya” hidup di Jepang.

Menyiasati hal tersebut, membeli barang baru menjadi hal yang tabu. Sebagai perbandingan, harga sebuah gpsmap baru dengan tipe dan merek yang sama apabila dibeli di Jepang dibandrol 99.000 Yen atau berkisar 10jt rupiah. Sedangkan apabila kita membeli di Indonesia harganya sekitar 3,5jt rupiah. Alternatifnya adalah membeli barang bekas. Janganlah dibandingkan kualitas barang bekas di Jepang dengan barang bekas di Indonesia dan harganya bisa turun dari 50% – 90% dari harga barang baru walaupun hanya selisih hari saja. Boleh dikatakan orang Jepang sangat menyenangi barang baru yang up-to-date buktinya banyak sekali ditemukan barang bekas yang kondisinya masih sangat baik sekali karena hamper tidak bisa dibedakan dengan barang baru. Lebih-lebih kadangkala masih bisa dijumpai label harga pembelian baru yang terpasang. Mungkin si pemilik terdahulu hanya suka membeli tanpa pernah memakainya sama sekali, kemudian bosan dan dijualnya kembali.

Tercatat ada beberapa toko barang bekas di seputaran Fukuoka. Diantaranya adalah eco mall, takayama, dan toko-toko lokal lainnya. Yang dijual mulai barang elektronik, pakaian, furniture, kendaraan dan kebutuhan hidup lainnya. Pembelian melalui online pun bisa dilakukan melalui amazon.co.jp atau kakaku.com dan situs yang lain. Atau bisa juga memungut di tempat pembuangan barang bekas yang siap dihancurkan. Untuk poin terakhir itu harus dipastikan terlebih dahulu apakah barangnya benar-benar masih bisa dipakai atau sudah kehujanan berhari-hari lamanya karena biasanya tempat pembuangan barang bekas tak beratap dan jangan lupa minta ijin si pemilik lokasi biar tidak dikira maling.

Sistem penjualannya sangat sederhana. Barang dipajang di etalase dan diberikan keterangan kondisi barang, biasanya diberi label A – C. Ini berarti kalau labenya “A” kondisi barang masih bagus seperti baru dari fisik dan fungsinya, kalau “B” kondisinya bisa jadi ada goresan sedikit dan seterusnya. Bisa juga keterangan lebih detil dengan label AA, AB, AC, dan seterusnya. Untuk itu sebelum memutuskan membeli barang bekas di Jepang agar diperhatikan keterangan kondisi barang dengan cermat juga kondisi fisik barang tersebut. Sebelumnya bandingkan juga dengan harga barunya, apabila tidak jauh berbeda lebih baik membeli yang baru. Untuk masalah kejujuran penjual barang bekas di Jepang mengenai keterangan kondisi barang, selama ini saya belum pernah mendengar keluhan mengenai tipu daya penjual barang bekas. Jadi bisa dipastikan keterangan kondisi barang yang diberikan oleh si penjual bisa dipercaya.

Pengalaman membeli barang bekas pertama saya lakukan saat membeli sebuah setrika portabel merek Vegee sebuah produk dari Hitachi. Saya beli dari toko barang bekas lokal di daerah Susenji dengan harga jual 2.400 Yen dengan kondisi yang sangat mulus. Di sebuah mall juga di daerah Susenji, harga barunya sekitar 4.000 Yen. Membeli barang bekas secara online saya lakukan pada scanner merek Epson Gt-s600 buatan tahun 2006 yang saya beli dari Amozon.co.jp. Kalau beli baru dibandrol seharga 7.800 Yen, ketika pertama kali diluncurkan tahun 2006 dihargai 11.200 Yen dan saya hanya cukup membayar 4.000 Yen untuk bekasnya saja. Membeli online kadangkala seperti membeli kucing dalam karung. Harap-harap cemas menanti kondisi barang karena ini pertama kali saya membeli barang bekas via online yang tidak pernah melihat kondisi barang sesungguhnya. Setelah menunggu 3 hari akhirnya barang itu tiba juga. Yang menarik adalah tidak ada satu centipun goresan dari scanner yang saya beli, kondisinya sangat istimewa, masih terbungkus rapi lengkap dengan boks, asessoris dan manual book nya. Membuat saya menjadi sangat puas dan semakin mengukuhkan pendapat saya bahwa toko di Jepangs angat bisa dipercaya dalam memberikan informasi tanpa merugikan konsumen. Lebih istimewa lagi adalah ternyata scanner tersebut made in Indonesia

Kedepannya, alternative untuk membeli barang bekas di Jepang merupakan hal yang penting bagi para penerima beasiswa “alakadar” nya untuk menyambung hidup dan bisa sedikit menikmati suasana hidup di Jepang. Akhirnya selamat berburu barang bekas di Jepang.

About Almandine
Just ordinary person who want to know anything and everything

7 Responses to Berburu Barang Bekas di Jepang

  1. bosman says:

    ada buku/novel bekasnya kagak mas?

  2. mylongjourney says:

    Kalau untuk penerima beasiswa “sangat alakadarnya” berburu barang seperti itu bukan menjadi alternatif, tapi PRIORITAS!!!

    • iwantolet says:

      baik mas hangga, besok anterin saya ke Tenjin Chikagai ya… eh, ga ada barang bekas ya di sana 😛

      • mylongjourney says:

        eh besok kuliah bos, nanti ditanya progress lagi kan repo”r”t…

        minggu depan aja , bagaimana kalo ke marinoa city (eh bukannya disana juga gak ada barang bekas ya).

        kalo gitu ke nakasu kawabata aja sewa “daging” bekas gimana?

        ijin link WP addressnya pak bos yang hidup penuh dengan kemesuman

  3. tsurchan says:

    saya telat baca artikelnya… saya juga lagi merintis usaha ini… alamatnya di Bekasi, tokoku tak kasih nama “Risaikel Shop” dari kata recycle shop. salam kenal buat antareja bingung. antasena wa doko ni iru ?

  4. david says:

    Salam kenal saya David Ricardo dari indonesia sekarang lagi pendidikan di Marine technical College Ashiya Osaka jepang, mau tanya kalau tempat alternatif untuk berburu barang bekas yang bisa di jangkau dari tempat saya di mana ya. untuk informasi kebetulan saya dapat tempat menginaf di hotel takezono ashiya … please infonya ke saybatin@yahoo.co.id. terimakasih sebelumnya.

Leave a comment