Letusan Tambora (1815) “Sumber Bencana Yang Tidak Diketahui”

02Gunung Tambora terletak di pulau Sumbawa bagian dari Indonesia yang saat itu masih dikuasai oleh Belanda. Letusan Tambora setidaknya menewaskan 70.000 orang di pulau Sumbawa akibat dari letusan langsung, wabah penyakit dan kelaparan. Letusan Gunung Tambora yang terkenal itu terjadi pertama kali pada tanggal 5 April 1815 yang suara letusannya terdengar hingga Batavia (1.300 km dari pusat erupsi) dan Ternate (1.400 km dari pusat erupsi). Di Batavia saat itu tentara Belanda segera bersiap mengira akan ada serangan dari bala tentara Mataram sedangkan di Ternate armada kapal perang segera disiapkan mengira akan adanya serangan dari para bajak laut.

Letusan terbesar terjadi pada 10 April 1815 termasuk ke dalam index 7 VEI (Volcanic Explosivity Index) yang oleh para volkanologist disebut Sangat Luar Biasa (Colossal). Suara letusannya terdengar cukup jelas hingga Sumatera bagian barat yang secara geografis terletak 2.500 km sebelah barat Tambora. Getaran dan gelombang udara akibat letusan tersebut terasa hingga 800 km di Jawa bagian timur. Debu vulkanik terus berjatuhan secara gradual hinggal tanggal 17 April 1815.

Pemukiman yang terdekat dengan Tambora adalah Bima (65 km timur Tambora) dan Sanggar (40 km di timur pusar erupsi). Seorang Raja dari kerajaan kecil di Sanggar  menggambarkan bahwa letusannya menghasilkan tiga kolom erupsi yang membumbung di angkasa membentuk kanopi. Desa Bima, seluruh rumahnya tertutupi oleh debu vulkanik. Bima dan Sanggar juga tersapu oleh gelombang tsunami yang meratakan pemukiman mereka, penduduk berbondong-bondong melarikan diri menuju ke tempat yang mereka anggap aman, sebagian besar diantaranya tewas akibat terjangan gelombang ini.

Dalam investigasinya, Raffles menemukan mayat-mayat manusia yang mengapung di lautan maupun di terhampar di daratan. Charles Lyell (1797-1875) dalam bukunya Principles of Geology menuliskan bahwa akibat letusan ini populasi penduduk 12.000 di Tambora tersisa hanya 26 individu. Heinrich Zollinger seorang misionaris pada tahun 1855 mengestimasi jumlah korban akibat letusan Tambora adalah sekitar 10.000 manusia.

03Debu volkanik yang dimuntahkan oleh Tambora melingkupi daerah seluas 500.000 km2. Akumulai debu vulkanik di angkasa yang sangat banyak menyebabkan area seluas 300 km2 di sekitar Tambora tertutup sinar matahari selama 3 hari. Ketebalan debu volkanik akibat letusan ini tercatat 100 cm di Sumbawa, 60 cm di Lombok dan 30 cm di Bali. Debu volkanik yang asam juga meracuni persawahan, menutupi saluran irigasi dan mematikan tanaman perkebunan lainnya. Kelaparan merebak di Pulau Sumbawa menjangkiti 38.000 penduduk dan 36.000 lainnya meninggalkan pulau menuju Jawa. Di Lombok 20.000 penduduk meninggal akibat kelaparan dan 100.000 lainnya migrasi menuju Pulau Jawa. Pulau Jawa saat itu sudah padat penduduk sehingga terjadi konflik sosial akibat migrasi tersebut.

Batu apung yang terbentuk akibat letusan sangat melimpah ditemukan di Laut Jawa. Selama hampir 4 tahun, batu apung ini masih bisa ditemui oleh kapal-kapal yang melintas perairan ini.

Erupsi Tambora juga menyebabkan perubahan cuaca di seluruh penjuru dunia. Di India, menyebabkan perubahan pola arah angin sehingga menyebabkan kekurangan hujan di sebagian besar daratan di India dan wabah kekeringan terjadi pada 1816. Kebalikannya, di Bangladesh pola angin yang membawa hujan menyebabkan bencana banjir pada bulan september. Hal yang serupa juga terjadi di China akibat luapan dari sungai Yangtze dan Yellow.

Kekeringan yang terjadi di India menyebabkan wabah penyakit kolera berkembang dengan cepat hingga ke Afganistan dan Nepal. Di Mekah dan Madinah wabah ini dibawa oleh para jemaah haji dari daerah sumber wabah. Pada tahun 1823, wabah kolera telah sampai di laut Kaspia dan sampai di Moskow pada 1830. Tahun berikutnya di Mesir, Kairo kehilangan 12% populasinya akibat wabah ini.

Data cuaca pada abad ke-19 mencatat terdapat perubahan iklim setelah letusan 1815. Pada 1816 tercatat suhu rata-rata di permukaan 10 derajat celcius turun dari normal. Pendinginan global ini terbentuk dari molekul gas sulfur dioksida letusan Tambora di angkasa yang terbawa oleh angin memenuhi atmosfer dunia dan berada di atas awan sehingga tidak tersapu oleh hujan selama beberapa tahun. Tudung gas asam sulfur ini menghalangi sinar matahari yang masuk dan mendinginkan suhu bumi.

Pada tahun 1816-1817 di Eropa pada saat musim panas suhunya tetap dingin dan basah sehingga perkebunan mengalami kegagalan panen. Hasilnya, kelaparan terjadi di Eropa terutama di perkotaan. Di Paris tercatat beberapa orang meninggal karena kelaparan. Hal yang serupa terjadi di Irlandia, yang terjangkiti juga dengan wabah tipus karena kondisi kesehatan yang buruk. Setidaknya 100.000 orang meninggal akibat wabah ini di Eropa.

Tidak ada yang paham penyebab perubahan cuaca, gagal panen, kelaparan selama bertahun-tahun. Banyak orang yang menuduh hal ini terjadi karena turunnya moralitas dengan menurunnya kedatangan orang di rumah ibadah. Beberapa menyalahkan sinar matahari, pendinginan es di Samudera Atlantik tetapi tidak ada yang menyalahkan letusan gunungapi yang terjadi separuh dunia jauhnya dari Eropa yang merupakan penyebab utamanya. 60 tahun kemudian setelah letusan Krakatau terjadi pada 1883, para ahli meneliti dampak letusannya barulah menyimpulkan hal yang serupa yang terjadi pada kurun 1816-1817 akibat letusan Tambora 1815.

Sumber tulisan dan gambar : Volcanoes in Human History (2002)

About Almandine
Just ordinary person who want to know anything and everything

12 Responses to Letusan Tambora (1815) “Sumber Bencana Yang Tidak Diketahui”

  1. Muhammad Erfan says:

    Letak Tambora pak di kabupaten Dompu Propinsi NTB.Pada saat letusan itu,letusan menghancurkan 4 kerajaan yaitu Tambora, Dompo, Sanggar dan Pekat..Dompo lah yg menjadi ibukota dan menjadi sasaran ekspedisi Padompo dari Majapahit.Ekspedisi pertama dipimpin oleh Nala dan gagal, ekspedisi kedua terjadi bersamaan dgn terjadinya perang bubat antara sunda galuh dan majapahit..sebagai bukti bahwa kerajaan dompo lah yg berkuasa saya beri kutipan sumpah palapa Gajah Mada:
    Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira
    Gajah Mada: “Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun
    kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang,
    Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa”.( sumpah palapa)
    Terjemahannya,
    Beliau Gajah Mada Pati…h Amangkubumi tidak ingin melepaskan
    puasa. Ia Gajah Mada, “Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru
    akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura,
    Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya
    (baru akan) melepaskan puasa”.( terjemahan )
    Ini suatu bukti bahwa di masa lalu kerajaan dompo(kini kesultanan dompu) mendapat perhatian sangat besar dari kota raja majapahit sehingga dianggap perlu ditaklukkan.
    Saya hanya ingin meluruskan sejarah agar tidak terjadi pemahaman dan opini serta pengetahuan yang tidak sesuai kenyataan.Banyak catatan yg ditinggalkan oleh kakek buyut saya (Sulta Abdullah II)mengenai perkembangan kerajaan Dompo menjadi kesultanan dompu…jika ingin tahu lebih lanjut silahkan add Sultan Dompu di FB (Kahrul Zaman MTS) putra Sultan M.Tajul Arifin Siradjudin.

  2. Muhammad Erfan says:

    kerajaan bima ada karena adik dari raja dompu memutuskan untuk membuat kerajan baru sebagai perluasan wilayah ke arah timur seperti alor,kupang dsb

  3. kanggia says:

    mas Muhammad Erfan……… tolong di baca lagi buku tentang asal usul kerajaan Dompu nya agar ngga’ gomong Kerajaan Bima ada karena keinginan dari adik raja Dompu Bla. Bla. Bla

  4. subhan yusuf says:

    pak Erfan, restorasi sejarah memang perlu, tapi syaratnya cuma ada satu, ada data pendukung yang reliabel dan di akui oleh seluruh kalangan sejarawan dan masyarakat pernaskahan nusantara, kalau hanya bermodalkan folkslore dan oral history saya rasa semua orang bisa saja mengembangkan imajinasi sejarah versi mereka masing-masing. dan berbicara periodesasi eksistensi dompu dan bima, adalah hal yang sangat menggelitik jika pak Erfan mempropagandakan jikalau bima adalah adiknya dompu, terus terang saya serasa terbangun dari ‘normal’ menuju alam fantasy. salam kenal. FB saya (Rafael Mars)

  5. vai says:

    koq jadi ngebahas kerajaan sih org yg satu ini???
    ini kan tentang letusan…..
    ga nyambung deh ah.
    ;p

  6. Menarik sekali cerita ini. BTW saya tahu tentang letusan Tambira bkn dari sumber ilmiah tapi karena waktu SD membaca komik Si Buta dari Goa Hantu karya Ganes Th 🙂

    • iwantolet says:

      terimakasih komennya Paman Tyo. Manuskrip yang bercerita secara ilmiah mengenai letusan Tambora memang sangat terbatas mengingat periode letusannya pada 1815 dimana penyelidikan scientifik belum begitu populer di bidang vulkanologi, yang dapat dilacak hanya dari cerita ke cerita yang kemudian dituliskan oleh para kolonialis

  7. SL says:

    Semua sahabat yang perhatian dan tertarik Tambora,

    Tak lama sebelum Tambora meletus, Jawa jatuh di bawah kontrol Inggris pada tahun 1811, dan Sir Stamford Raffles, ditunjuk menjadi Gubernur. Dia mengambil minat dalam budaya dan sejarah alam pulau dan kepulauan Indonesia, dan banyak apa yang kita ketahui tentang Indonesia (khususnya Jawa) dan juga menyinggung letusan Tambora. Ini tertuang dalam “History of Java” (Raffles, 1817) dan memoarnya (Raffles, 1830).

    Dokumen lainnya, serta surat-surat terkait juga diterbitkan dalam Asian Jurnal (menyerap informasi intelijen, sastra ulasan dan berita di daerah, yang mulai terbit tahun 1816), memberikan informasi dan wawasan menarik mengenai sifat dan konsekuensi dari letusan.

    Sumber-sumber lainnya yang mengulas Tambora cukup tersedia (jadi tidak benar kalau dikatakan Tambora tidak banyak diteliti), setidaknya riset atau tulisan di bawah ini yang memberi informasi bagi mereka yang ingin mengetahui lebih jauh Tambora, sebagai berikut:

    Raffles, T.S. 1817: The history of Java. London:Black, Parbury and Allen.

    Raffles, S. 1830: Memoir of the life and public services of Sir Thomas Stamford Raffles, F.R.S. &c., particularly in the government of Java 1811–1816, and of Bencoolen and its dependencies 1817–1824: with details of the commerce and resources of the eastern archipelago, and selections from his correspondence. London: John Murray.

    Post, J.D. 1977: The last great subsistence crisis in the Western World. Baltimore MD: The Johns
    Hopkins University Press, 240 pp.

    Stothers, R. 1984: The great Tambora eruption in 1815 and its aftermath. Science 224, 1191–98.

    Stothers, R. 2000: Climatic and demographic consequences of the massive volcanic eruption of 1258. Climatic Change 45, 361–74.

    Sigurdsson, H. and Carey, S. 1989: Plinian and co-ignimbrite tephra fall from the 1815 eruption of Tambora volcano. Bulletin of Volcanology 51, 243–70.

    Sigurdsson, H. and Carey, S. 1992: The eruption of Tambora volcano in 1815: environmental effects and eruption dynamics. In Harington, I.R., editor, The year without a summer? World climate in 1816. Ottawa: Canadian Museum of Nature, 16–45.

    Stommel, H. and Stommel, E. 1979: The year without a summer. Scientific American 240, 176–80, 182, 184, 186.

    Harington, C.R., editor 1992: The year without a summer? World climate in 1816. Ottawa: Canadian Museum of Nature, 576 pp.

    Sepanjang pengetahuan saya, tulisan berikut yang bisa dikatakan paling lengkap mengulas Tambora, artikel panjang tersebut: “Climatic, environmental and human consequences of the largest known historic eruption: Tambora volcano (Indonesia) 1815,” oleh Clive Oppenheimer.

    Saya tak berani melanggar copyright menterjemahkan artikel tersebut (untuk diedarkan), saya akan coba tanyakan dulu ke penulisnya (Bapak Clive Oppenheimer) dan penerbitnya. Mungkin saya kalau ada kesempatan kita bisa membuat sebuah diskusi dan bisa dibahas “di darat” bukan online, atau via blog.

    Diskusi semacam ini bukan hanya menggugah rasa ingin tahu dan kejelasan sejarah Tambora, ilmu pengetahuan dan geologi, tapi juga bisa menjadi potensi wisata (wisatawan bisa tercerahi dengan informasi yang akurat).

    Semoga bermanfaat informasi ini. Selamat menjelajah Tambora.

    Salam dan jabat erat,
    Sugi Lanus

  8. SL says:

    Tambahan:

    Telah terbit pula buku khusus tentang Tambora:
    “Tambora: A Killer Volcano from Indonesia Book Description” oleh Kathy Furgang, diterbitkan oleh Rosen Publishing Group , terbit 31 Januari 2006. Buku ini bisa dikatakan merangkum hampir semua sumber yang sangat komprehensif.

    Salam dan jabat erat,
    Sugi Lanus

Leave a comment