Mendaki Buku

Gunung Tampomas di Sumedang memang tidak seberapa tinggi dibandingkan dengan gunung-gunung di Jawa Tengah atau Jawa Timur seperti Gunung Slamet atau Gunung Semeru tetapi bagi saya yang sudah lebih dari lima tahun pensiun dari kegiatan naik gunung terasa sangat melelahkan dan menguras fisik. Ketinggian Gunung Tampomas kurang lebih 1684 m di atas permukaan laut dengan titik pendakian dimulai di sekitar Desa Conggeang. Perjalanan itu adalah rangkaian dari kegiatan survei untuk menyingkap tabir sejarah geologi Gunung Tampomas bersama rombongan dari Teknik Geologi UGM yang berkolaborasi dengan Kyushu University Jepang.

Jalan setapak menuju puncak gunung kami lalui pada hari terakhir dari total empat hari kegiatan survei ini. Dengan litologi mulai dari bawah berupa breksi andesitik hasil dari aliran gravitasional piroklastik berselingan dengan lava andesit yang terkadang menunjukkan struktur lembaran mengiringi langkah ini menuju ke puncaknya. Vegetasi yang terlihat adalah kebun buah dari penduduk sekitar berupa tomat dan cabe, semak liar dan dominasi pohon pinus yang dimanfaatkan untuk disadap getahnya oleh para pekerja perkebunan. Suara kicau burung sesekali kokok ayam hutan juga lolongan monyet hutan mengiringi perjalanan tersebut.

Bagi saya yang sudah lebih dari lima tahun tidak pernah menapakkan kaki lagi pada jalan berlereng curam sangatlah menyiksa. Kalau tubuh bagian bawah ini bisa berbicara maka pastinya mereka akan menjerit protes karena antara para otot dan tulang sudah mulai tidak akur lagi bahkan beberapa dari mereka sudah memutuskan untuk bercerai di tengah perjalanan. Keinginan untuk mengakhiri perjalanan sudah hampir membulat sempurna saat nafas mulai galau tak beraturan terkadang suara sengau ngak-ngik-nguk muncul dari paru-paru yang diteruskan oleh mulut yang menganga.

Pada kondisi tersebut tiba-tiba saya teringat akan kehebatan membaca sebuah buku. Sebuah buku adalah ibarat sebuah gunung yang menjulang tinggi dan membuka pintunya untuk didaki sang pembaca. Tujuannya sangatlah jelas, tak lain adalah halaman terakhir dari sebuah buku yang dapat kita lihat dengan jelas layaknya puncak gunung yang terlihat dari kejauhan. Testimoni para pembaca biasanya dituliskan di halaman belakang sampulnya dan biasanya diisi oleh orang-orang terkenal yang telah malang-melintang membaca dan menulis buku di seantero jagad. Pendaki gunung tak mau kalah dalam testimoninya. Diceritakan dengan persuasif bagaimana kondisi di puncak, pengalaman dan kisah-kisah inspiratif lainnya selama perjalanannya menuju puncak. Tujuannya adalah menggugah minat pembaca atau pendaki untuk mengikuti jejaknya menyelesaikan hingga menuju puncak gunung dan buku.

Judulnya menggugah selera layaknya nama sebuah gunung yang maha dahsyat tetapi terkadang isinya tak sedahsyat judulnya. Melelahkan dan membutuhkan konsentrasi tinggi dalam mengartikan dan menyelami setiap kata dalam sebuah kalimat yang dirangkai menjadi satu paragraf kemudian diikat kembali dalam subbab, bab dan buku itu sendiri. Setiap lembar halaman adalah satu kelokan atau satu tanjakan dalam pendakian gunung yang sesungguhnya. Mentalitas harus dijaga disini untuk menjaga konsistensi dan semangat akan tujuan akhir kita. Rasa ngilu dipersendian kaki adalah rasa kantuk dan bosan dalam membaca buku, harus dilawan dan diabaikan, teruslah membaca dan teruslah berjalan. Istirahat sejenak melepas dahaga adalah sebuah kecupan mesra pada kopi atau teh hangat yang tersedia.

Saat sebuah konflik muncul maka membaca buku akan menjadi semakin seru, setiap lembarnya selalu ditunggu-tunggu dan tak sabar membuka tiap helai halamannya. Dalam mendaki gunung hal tersebut akan berarti sebuah perjalanan yang menyenangkan diiringi dengan kicauan burung dan angin gunung yang sejuk dan sepoi-sepoi. Langkah kaki yang kita pijak menjadi tak terasa berat seakan pada tiap mata kaki muncul sepasang sayap yang siap membawa kaki kita terbang 10 cm di atas permukaan tanah untuk melaju terus tanpa hambatan. Apabila puncak gunung akhirnya dapat dipijak dan terlampaui maka halaman akhir dalam sebuah buku telah kita baca dengan sempurna. Kilas balik perjalanan dan tiap lembar dari buku akan menghantui kita selama beberapa saat lamanya, terkadang eksotika inilah yang mendasari untuk mendaki buku lagi.

Sayangnya pendakian Gunung Tampomas harus berhenti di tengah perjalanan karena hari sudah semakin gelap dan kami tidak membawa peralatan lengkap untuk pendakian malam hari atau menginap di tengah hutan. Sekali lagi, tujuan perjalanan kami adalah survei geologi dan bukan pendakian gunung. Rasanya seperti hanya membaca setengah halaman buku dan harus ditutup untuk diselesaikan kembali pada waktunya nanti. Buku itu akan tetap tersimpan rapi hingga saya datang untuk membacanya lagi hingga halaman terakhir nantinya.

Seorang pendaki gunung pastilah senang membaca buku maka seorang pendaki gunung yang gemar membaca akan menjadi seorang pendaki buku. Akhir kata, Selamat mendaki tulisan saya ini dengan ketinggian yang hanya berkisar 50 meter saja.

(C) Gambar 1: http://jamboelover.blogspot.com/2010/03/blog-post_25.html

(C) Gambar 2: http://bimosaurus.multiply.com/journal?&=&page_start=340

About Almandine
Just ordinary person who want to know anything and everything

One Response to Mendaki Buku

  1. Eva says:

    Hmmm,,tulisan yang mulai menggugah minat saya untuk membaca buku.
    Salam kenal, saya juga calon geologist.
    Saya merasa entah kebetulan atau ditakdirkan untuk baca blog ini, dan saya tertarik untuk baca Nusantara Sejarah Indonesianya, haaahahahaha.

Leave a comment