Dalam perjumpaan dan diskusi dengan kolega semasa kuliah sampai dengan pekerjaan, selalu ada benang merah yang bisa terbawa sampai tidurku. Apalagi kalau bukan tentang hidup, hidup seorang sarjana yang terus mencari jatidiri ditengah deru kehidupan yang diwarnai idealis dan realistis.
Masing-masing dari kami mempunyai impian tersendiri dan kami mempunyai kesamaan perasaan terjebak dalam suatu situasi dunia realis yang membuat idealis kami semakin lama semakin hilang. Hiruk-pikuk dunia kerja dan nikmatnya menerima uang segepok membuat kami terlena dengan impian yang selalu kami bangun ketika kuliah dulu.
Apakah kami memang tidak tercipta sebagai seorang pekerja yang baik? Yang ada di pikiran kami hanyalah mengobrak-abrik sistem dan pemikiran yang sudah dijalin dalam sebuah perusahaan. Ilmu yang dipraktekan selalu kurang bagi kami, tidak semua materi yang didapat selama kuliah bisa kami eksplorasi di tempat kerja. Ide-ide kami rasanya mentok. Apakah memang tujuan dari hidup ini hanyalah segepok uang yang bisa membuat orang menjadi tertawa secara semu belaka?
Idealis bagi kami adalah semacam candu dalam hidup, dengan pola pikir idealis, kami merasa hidup ini lebih bergairah dan dunia yang terbentang luas sedikit demi sedikit akan kami lahap hingga habis. Selanjutnya alam semesta yang maha luas masih menanti kami. Tak akan ada habisnya setidaknya selama masih ada imajinasi dan kegelisahan dalam hidup kami.
Saat semua orang menikmati hasil kerja mereka dengan tertawa-tawa, kami hanya melakukannya dengan diskusi buku sambil sesekali menyeruput kopi kental diiringi aliran musik dave coz kadang-kadang jazz bossanova. Tempatnya tidak tetap, sesekali di kamarku, sesekali di kamarnya. Atau jika sedang bosan dengan suasana, kami menikmatinya di warung dekat dengan mess.
Tidak hanya diskusi buku yang dikupas, semuanya mengalir begitu saja. Mulai dari sandal jepit sampai dengan global warming, mulai dari Mbok Dharmi sampai dengan Hillary Clinton, mulai dengan Lik Jarwo sampai dengan Mahmoud Ahmadinejad. Begitulah… obrolan kami selalu mengalir bak aliran sungai meandering yang membelah pulau kalimantan, berkelok-kelok dan mengalir pelan selama mungkin sampailah ujungnya ke muara dan berbaur dengan luasnya samudera.
Kembali lagi ke masalah impian. Impian bagiku bisa berarti sebuah cita-cita atau tujuan. Sifatnya sangat idealis sekali karena jalur hidup kadang-kadang tidak searah dengan tujuan hidup yang diharapkan. Untuk kembali lagi menuju tujuan hidup, kadang-kadang membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit baik itu spiritual maupun material. Tapi, apapun pengorbanan itu yakinlah bahwa saat kita mencapai tujuan hidup yang kita inginkan akan ada kepuasan yang luar biasa dan itu merupakan imbalan yang tak ternilai harganya.
Pembahasan mengenai tujuan hidup sering kita temui inspirasinya di buku bacaan, di film maupun di sebuah lagu. Ada film yang mengulas tentang hal ini, salah satunya adalah film yang dibintangi Will Smith judulnya The Pursuit of Happiness. Gambaran pengejaran tujuan hidup sangat jelas di dalam film ini. Di film tersebut Will Smith (aku lupa nama tokoh yang diperankannya) mengatakan kepada anaknya bahwa “Apapun harus kamu lakukan untuk mencapai tujuan hidupmu”. Film yang benar-benar menyentuh dan membuatku menjadi pengecut dan pecundang sejati saat membandingkan apa yang telah kulakukan dengan apa yang Will lakukan di film tersebut. Dia rela mengorbankan apapun demi tercapai tujuan hidupnya. Ini bukan berarti bahwa kita harus menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan kita. Berikanlah yang terbaik dari hidupmu untuk mencapai tujuanmu. Lakukanlah dengan ksatria dan janganlah menjadi seorang penjahat demi tujuan itu karena kepuasannya akan sangat berbeda saat kau mencapainya. Hebatnya, film ini adalah film adaptasi dari kisah nyata.
Penyanyi legendaris Iwan Fals juga membahas tentang pencapaian tujuan hidup. Tertuang dalam lirik di lagunya Seperti Matahari. Tapi disini, Iwan mengartikan pencapaian tujuan hidup dengan sudut pandang yang lain. Dia mengatakan bahwa :
Tujuan bukan utama, yang utama adalah prosesnya.
Kita hidup mencari bahagia, harta dunia kendaraannya.
Bahan bakarnya budi pekerti, itulah nasehat para Nabi.
Baginya tidak penting apapun tujuanmu, tapi bagaimana proses pencapaian menuju tujuan hidupmu itu. Yakinlah, akan banyak rintangan yang berat yang siap menghadang langkah kita untuk mencapai tujuan hidup kita. Tapi prinsip-prinsip dasar nilai kebajikan umat manusia yang telah diajarkan oleh semua agama di dunia patutlah menjadi teman untuk selalu mengiringi langkah kita.
Cobaan terberat adalah saat kita sudah masuk ke dalam zona yang aman secara finansial dan itu harus kita tinggalkan untuk meraih impian yang belum kita dapatkan. Beratnya cobaan tergantung dengan kondisi individu itu sendiri. Seorang lelaki yang masih bujangan dengan yang telah berkeluarga akan berbeda rasanya. Ini seakan-akan kita harus melewati satu kompi pasukan musuh yang siap memberondong tubuh kita. Dan kompi tersebut harus kita lewati karena dibelakangnya terbentang luas tujuan hidup kita. Saat kita bujangan, seakan-akan kita adalah seorang perwira dengan ransel yang tidak cukup berat kita bawa dan masih bisa berlari kencang untuk menghindari peluru musuh. Kita bebas untuk tiarap, loncat kiri-kanan, kadang-kadang salto demi pencapaian melewati kompi musuh. Sedangkan saat kita sudah berkeluarga, seakan-akan kita adalah perwira dengan beban ransel yang sangat berat dan masih harus membawa teman kita yang sekarat melewati berondongan peluru musuh. Haruslah mempunyai strategi yang cemerlang untuk melewatinya. Dalam kondisi ini kita tidak bisa melewati secara frontal musuh di depan kita. Musuh bisa dilewati dengan cara memutar jalan melewati daerah yang lebih aman walaupun itu membutuhkan waktu yang lama. Bisa dibayangkan betapa sulitnya dengan bawaan yang kita bawa masih ditambah dengan membopong teman kita yang sekarat melewati berondongan peluru. Tetapi, saat perwira dengan ransel yang ringan dan perwira dengan ransel yang berat tersebut sama-sama mencapai tujuan hidupnya. Kepuasan pencapaian dan pengalaman hidupnya juga akan berbeda. Perwira dengan ransel yang berat dan membopong temannya yang sekarat akan mendapatkan tujuan dan kepuasan hidup lebih.
Sebenarnya cukup mudah untuk menghindari resiko-resiko seperti ini, tentukan tujuan hidupmu sedari dini. Mungkin kita diingatkan ketika masa taman kanak-kanak dulu diwajibkanlah bagi kita untuk mempunyai cita-cita. Inilah pelajaran awal bagi kita untuk mengerti pentingnya tujuan hidup. Tapi saat itu mungkin kita tidak sadar, termasuk juga diriku, karena pada saat itu cita-citaku adalah menjadi Gaban sang robot penyelamat umat manusia. Bukan menjadi penyelamat umat manusia yang aku inginkan tapi lebih sekedar sangat keren ketika menjadi Gaban yang tahan peluru dengan jurus-jurus maut J
Setidaknya tentukanlah tujuan hidup saat selesai dengan masa kuliah karena dengan selesainya masa kuliah merupakan pertanda kita telah menjalani separuh dari hidup kita. Saat separuh hidup kita yang lalu selalu dibayangi oleh orang tua, maka separuh hidup kita di depan ini harus kita lewati dengan sendiri. Tujuan hidup adalah dari dirimu sendiri, yang menentukan adalah dirimu sendiri, dan kamu adalah raja bagi dirimu sendiri. Untuk itu jangan pernah salah langkah. Saat kau mengetahui kau salah langkah, kembalilah menuju tujuan hidupmu dengan ksatria dan segala resiko yang harus kamu tanggung. Janganlah dipikirkan mengenai berhasil atau tidaknya. Setidaknya kita telah mencobanya di dalam hidup kita.
Aku belum mendapatkan tujuan hidupku dan aku akan mencoba mengambil segala resikonya. Aku sering mengandaikan mencapai tujuan hidup itu seperti naik gunung. Saat aku berada di kaki gunung dan memandang puncak gunung tersebut, anganku berkata bahwa begitu indahnya saat aku berada di atas sana. Maka naiklah diriku untuk mencapainya. Perjalanan menaiki gunung tidaklah mudah, hawa dingin yang menusuk disertai dengan medan yang berat, belum lagi harus menanggung tas carrier yang kubawa cukup untuk melemahkan mental dan menguras tenaga. Setelah perjalanan yang cukup berat tersebut akhirnya kaki ini sampai juga menuju ke puncak gunung. Ada rasa haru dan kepuasan ketika sampai di puncak gunung, saat memandang hamparan awan dan setitik tanda kehidupan jauh di bawah sana.
“Aku telah melewati semua itu, dan sekarang aku di puncaknya” Tapi apa yang terjadi, puncak itu akhirnya tidak menjanjikan apa-apa. Pemandangannya lama kelamaan menjadi membosankan, yang aku injak hanyalah hamparan pasir dan hawa dingin itu lama kelamaan semakin meremas tulangku. Saat itu yang ada di pikiranku hanyalah perasaan ingin pulang dan menikmati segelas coklat panas di atas kasur dan tidur dengan nikmatnya. Secepatnya aku turun gunung dan secepat itu pula perasaan puas di puncak gunung hilang. Satu bulan berikutnya, aku ingin naik gunung lagi.
Apakah akan secepat itu pula kepuasan tujuan hidup yang nantinya kita raih? Apakah tujuan hidup itu seperti sebuah stasiun kereta. Hanyalah persinggahan sementara untuk singgah ke stasiun berikutnya. Atau hanyalah sifat dasar manusia yang tidak pernah akan puas dengan pencapaian atau ada yang salah dengan diriku?
Komentar Terbaru